Preman Berhijab

By 4/22/2016

Deskripsikan tentang gue satu kata, pasti banyak jawabannya preman atau laki atau ya sejenisnya, dengan akhir kesimpulan mengunakan hijab tidak ada pantasnya buat gue.

Tapi akhirnya, gue tetap memilih menutupi kepala gue, menyimpan rambut indah yang gue nobatkan menjadi bagian terbaik dalam diri gue dengan kain jilbab.

Kenapa?

Sebenarnya, ya gue si preman, si yang sering disebut laki-laki padahal perempuan manis nan tulen ini, sudah punya target untuk mengenakan hijab, paling cepat setelah urusan sekolah gue selesai, setelah gelar "dr" menempel di depan nama gue, kalau paling lama setelah gue menikah.

Waktu itu bertepatan dengan bulan puasa. Namanya juga bulannya pahala dilipat-gandakan, gue juga gak mau kalah untuk berlomba-lomba melipat-gandakan pahala. Makin sering ibadah, makin kuat keinginan gue untuk mengenakan hijab, tapi prinip mengenakan jilbab setelah lulus dokter masih 80% kuat. Godaan setan, memang!

Suatu hari, teman baik gue, bilang di grup chat, tanpa ada maksud menyindir gue, dan memang sedang membicarakan topik ini, dia bilang,"ngapain sih kita lakuin yang sunah, kalau yang wajib belum dilakuin, berjilbab misalnya. kayak kita disuruh bayar uang, yang kita bukan kewajiban kita, kan males"

DENG! Aing seperti ditampar rasanya.


Suatu hari lagi, menjelang bulan Ramadhan selesai, gue membaca sebuah tulisan, "karena aku ingin menyelamatkan ayahku dari api neraka". Sebagai seorang anak aku tak mau di akherat nanti ayahku diminya pertanggungjawabannya hanya karena keegoisanku yang hanya mementingkan duniawi. Aku tak ingin ada penyesalan suatu hari nanti, karena itu selagi ada umur, selagi ayahku masih ada dan sehat, aku ingin memberinya sebua jamknan yang dijanjikan Allah SWT yaitu surga" (sumber: http://berawancom.blogspot.co.id/2014/05/sadarlah-nak-selamatkan-ayah-mu-dengan.html)

DENG! Kali ini rasanya seperti ditampar pake wajan bekas goreng tempe mendoan buat cemilan buka puasa. Kebayang gak, gue cuma jajan di Indomart beli Nu Milk Tea (Nu Milk Tea is a must thing ya), tapi ayah gue malah mendekat ke pintu neraka :(


Berpikir...

Berpikir...

Berpikir...


Akhirnya keyakinan itu datang, membesar dan semakin mantap. Dan, akhirnya gue resmi mengenakan hijab di bulan Syawal.

Beberapa ada yang bilang kalau gue pakai jilbab, karena permintaan pacar gue. NO! Mas pacar sama sekali gak pernah komentar atau bilang apapun, bahkan dia orang yang terakhir lihat gue mengenakan hijab, dengan respon cengo dan melongo, baru sejam sadar dan dibilang cantik. *BASI!* Jadi pacar gue bukan salah satu yang maksa gue untuk mengenakan hijab.


Apa sih susahnya berhijab?

Buat gue adalah ribet. Berhubung gue suka segala seseatunya cepat dan taktis, urusan mengenakan jilbab keluar rumah ini luamayan menganggu. Gue juga kurang suka keluar rumah pakai bergo atau kerudung instan, atau apa itu namanya, minimal mengenakan jilbab seribu umat; jilbab paris. Masalahnya, jilbab paris adalah tipikal jilbab yang harus disetrika sebelum digunakan karena mudah lecek, Jadi yaa, mau gak mau, ribet sendiri harus setrika jilbab sebelum pergi.

Belum lagi mengenakan hijab buat sepedahan dan pas mbolang. Ini sih yang PR banget. Pakai jilbab paris, simpel, pakainya cepat tapi mudah lecek. Pakai pashmina, gak mudah lecek, tapi pakainya ribet. Ya kan... Seperti dua mata pisau.

Pertama kali  mbolang mengunakan hijab.
lokasi: Selasar Sunaryo Art and Space, mBandung.
Tapi makin kesini, makin tahu "sela"-nya. Dicari triknya, banyak cari sumber supaya bisa nyaman dan gak ribet buat berpergian. Gue pribadi akhirnya mengumpulkan satu persatu, pelan-pelan, dikit-dikit menjadi bukit jilbab khusus untuk travelling, yang bahannya enak, pemakaiannya ga ribet dan tetap bisa tampil ketje. Dan bisa survive naik gunung dengan hijab! *proud*

Semoga seterusnya sih, bisa makin lebih baik lagi berhijabnya, dan caranya berpakaian. AMIN.




Kalau ada yang bilang ke kalian, kalian dapat hidayah karena mengenakan hijab, maka berbanggalah! Hidayah turun tidak kesembarang orang, dan kalian adalah salah satu yang beruntung.

:)))

Situbondo's Internship Squad

By 4/07/2016

Situbondo's Internship Squad
created by; mas pacar, Muler


Setelah gue sah dan lulus jadi dokter, salah satu program pemerintah mewajibkan dokter baru lulus seperti gue, bertugas ke daerah untuk (katanya) pengabdian sekaligus mempermantap skill dan kompetensi dokter, namanya internship. Ya! dan sekarang ini lah kehidupan sehari-hari gue, wara-wiri mengunakan jas putih, buntutin konsulen, tulis-tulis status pasien, dan kerjaan lainnya yang kalau dijabarkan bisa membuat anda sekalian berderai air mata. 

HEHEHE


Yes. I am a doctor internship.

Gue mendapatkan tempat--sebut saja pengabdian--di sebuah kota yang letaknya hampir di ujung Jawa, Situbondo. Dengan drama drama pemilihan wahana bersama #OrangeBoxFamily, memikirkan kemungkinan baik hingga buruk, dengan memakai banyak joki disana-sini, akhirnya gue terdampar di kota ini. Walau masih di pulau Jawa, tapi kota ini sudah sama sekali tidakk mengunakan bahasa Jawa, sama sekali gak! Hampir 95% penduduknya mengunakan bahasa Madura yang menurut gue seperti campuran Portugis-Arab, dan yang jelas bagi gue sangat sulit untuk mengerti pembicaraannya, kayak "berempa" "berema" "dema" itu lah.

Kalian pernah dengar Situbondo?

Atau pernah tau kalau di pulau Jawa ada daerah namanya Situbondo?

Pas jaman SD pernah denger kan proyeknya kerja rodinya Herman William Daendles, mantan Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun 1800-an, dengan proyeknya membuat jalan 1000 km dari Anyer - Panarukan, NAAAAH! Ternyata Panarukan itu merupakan salah satu kabupaten di Situbondo. Selama ini gue berpikiran kalau Panarukan ada di daerah Banyuwangi, eetapi ternyata SALAH! Ternyata Panarukan ada di Situbondo. Dan di kota ini lah kehidupan setahun gue berjalan. 


sumber: google
kira-kira itu letak Situbondo
Keren kan? *hela nafas panjang*

Ya gitu lah.

Selama "mengabdi" di Situbondo, gue tidak sendiri, Departemen Kesehatan dan dengan izin Allah SWT menyatukan gue dengan enam orang untuk kerjasama bareng. I have no clue tentang mereka, diantara enam cuma satu yang gue kenal, namanya Febri dari Jakarta. YAIYA DIA ANAK ORANGEBOX WOY!


Kita berenam dari tiga daerah yang berbeda, dua orang dari Bali, gue dan Ebay dari Jakarta dan dua lagi asli orang Situbondo. Gue gak kebayang sih, kalau jaman dulu gak ada Sumpah Pemuda, gak ada yang mengikrarkan "bahasa persatuan; bahasa Indonesia", kayak apa kita komunikasi.

Jakarta: Eh gue minta tolong visite dong

Situbondo: Bede pasien gawat! Epaberema'e ye? Palengen engkok!

Bali: Aah pengeng ne pasien! pasien liu saja, luungan pules!

GAK NYAMBUNG BLAS!

Foto awal masih jaim

Tapi yaudah ternyata Tuhan menyisipkan cerita lain dibalik terbuangnya gue di kota ini dan bertemu mereka.

Awal ketemu, masih pemalu dan pendiem, jaga image dan wibawa. Lama-lama, HANCUR! Dari mulai hobi dicariin konsulen karena selalu saja ada kesalahan, galau digantungin konsul ke spesialis, keroyokan visite berlima di satu ruangan dan buat pusing perawatnya, pura-pura bego pas diminta jaga praktekan salah satu dokter senior yang namanya tidak boleh disebutkan, buat alasan fiktif untuk mangkir dari tugas dan nongkrong di Karto Cafe and Lounge (if you know what I mean), dan semua konspirasi yang mengarah hal-hal yang tidak boleh dilakukan.


But honestly, mereka lah pelipur lara selama gue di Situbondo. Gue seperti menemukan #OrangeBoxFamily versi TMII karena dari beragam daerah.




Enam orang dengan isi kepala berbeda, dari si pendiam yang mematenkan obat emergency bernama "keto-santa-rani", si ibu calon-kadinkes-Situbondo 2025, si Bali yang doyan makan dan hobi genitin cewek, atau si Bali yang gagal move on dari mantan yang pernah photo pre.... *sinyal hilang*


Jangan pernah bosan dan lelah yaa untuk mencari bahan tertawaan bersama.

Jangan pernah bosan buat terus menjelajah bareng, kemana itu pun.

Jangan pernah bosan untuk terus ikhlas menerima kata "tolong visite ya, dek".

Jangan pernah bosan untuk terus ANTUSIAS.

Jangan pernah bosan dan lupa, kalau sekarang kita keluarga, yang ditakdirkan Tuhan tapi dikumpulkan oleh pak Ananta KIDI. *bhihihik*





Semoga kita bisa kompak sampai saatnya nanti kita kembali ke kota asal masing-masing, berpisah di Dinkes Surabaya, sampai bisa bertemu lagi melalui undangan pernikahan kalian (kecuali ibuk Fista ya!) dan bertemu lagi di seminar spesialis se-Indonesia.


AMIN.

Jakarta Minggu Pagi

By 4/03/2016

Gue rindu minggu pagi di Jakarta, biarpun baru tidur 3 jam dan kelopak mata seperti ada gajah besar yang berbaring disana, dengan kadar nyawa hanya 20%, tapi gue harus beranjak. Tanpa mandi, tanpa perlu bedak tebal, gue siap.


Gue rindu minggu pagi di Jakarta.

Menemui di jembatan biasa, tempat kita bertemu sebelum menuju pusat Jakarta.

Kita kayuh sepeda bersama, kadang bertemu dengan pesepeda lain, kadang bertemu dengan metro mini yang terburu-buru, entah apa yang di kejar di minggu pagi di Jakarta.

Kadang gue malas mengayuh sepeda sendiri, berpegangan pada bahu mu, kita tetap melaju.


Gue rindu Jakarta di minggu paginya.

Monas terlihat.

Melewati balaikota, berbelok menuju Sarinah.


Gue rindu.

Mendengar ocehan warga Jakarta di minggu pagi tentang bagaimana mereka menghabisakan gemerlap di malam sabtu "iya kemarin sampe mabok, njing!"

Memerhatikan kelakuan warganya, yang katanya gaya hidup sehat, tapi di pojok-pojok Bundaran HI satu batang rokok bisa bergilir di kerumanan anak bocah.

Suara musik pengiring senam dengan pengeras yang memekakan telinga, pelari dengan sepatu warna-warni yang masa kini, badut-badut berjoged tak karuannya, pocong dan kuntilanak yang salah muncul di minggu pagi di tengah keramaian hingga muda mudi yang mencoba mencari peruntungan nasib mengakhiri masa jomblonya.


Jakarta.

Bagi gue, hiburan gratis selalu tersedia di sudut kota ini.



Ditengah penatnya kota Jakarta, ditengah berlomba-lombanya mencari eksistensi di kota ini, ditengah banyaknya uang yang mengalir di kota ini, Jakarta minggu pagi memberi rasa lain.



Sambil gue lanjutkan mengayuh sepeda, mencoba mencari hiburan lain dari kota ini.



Seseatu Hal Yang Tidak Kita Tahu

By 2/02/2016

Ada beberapa kita yang jam 10 malam baru pulang kerja, melalui sulitnya hari dan ngeheknya perjalanan menuju rumah.

Ada yang jam 10 malam sudah lelap dengan mimpinya, merebahkan badan dan mulai mengisi ulang batere kehidupan untuk hari selanjutnya.

Atau ada sebagian kita, yang pada pukul 10 malam, masih berada diluar rumah. Sekedar melepas suntuk dengan secangkir kopi dan beberapa teman, karena bagi mereka jam terbaik melepas penat ada di larut malam.

Atau, ada lagi, jam 10 malam mereka masih gelisah, bingung memikirkan hari esok, mencoba menerka dan sebanyak mungkin berdoa bahwa akan ada kebaikan datang, berwujud pekerjaan.

Atau ada lainnya yang dikerjakan pada pukul 10 malam?

Entah mengapa pada waktu yang sama tapi banyak hal berbeda yang dilalui oleh tiap-tiap kita, atau bagaimana kita mengakhiri hari ini, senang atau sedih, puas atau jengkel, bahagia atau letih. Semuanya berbeda.

Karena ada seseatu hal yang tidak kita tahu.

Seseatu hal yang tidak kita tahu, mengapa ada sebagian kita yang jam 10 malam baru pulang bekerja sedang yang lainnya sudah bersiap untuk tidur. Mengapa sebagian orang harus lebih keras untuk bekerja, sedang yang lain hanya perlu bekerja seperti mengaduk gula dalam air panas, sebentar.

Seseatu hal yang tidak kita tahu, yang sering kita pertanyakan apa-apanya, yang sering kita keluhkan kenapa harus saya atau bukan dia yang menjalankannya. Tapi dibalik semuanya, hanya ada satu yang tahu; Tuhan. Tuhan maha serius dan benar adanya, tidak pernah salah sedikitpun membuat takdir dan jalan hidup bagi umat-Nya, walau menyelipkan sedikit cobaan, atau butuh banyak kesabaran dan derai-derai air mata.

 
Karena banyak hal yang Tuhan tahu dari seseatu yang tidak kita tahu.

Terus lah berjalan, beriringan rotasi bumi, maka (mungkin) kamu akan mendapatkan jawaban karena Tuhan Maha Tahu, semua hal yang baik untuk kamu




Patah dan Jatuh Hati Sekaligus

By 1/28/2016

Tanggal 28, empat tahun lebih yang lalu, ada seseorang yang bisa membuat saya patah hati dan bahagia dalam satu waktu. Ada. Nyata.

Empat tahun lebih, seseroang yang saya tidak paham apa tujuan dan maksudnya, yang saya tahu kita sama-sama sedang patah hati, saat itu. Tiap malamnya kita habiskan bersama, pesan-pesan tak jelas hingga pagi, menemani para malaikat turun ke bumi, katanya. Berbagi cerita bodoh tentang masing-masing. Selalu begitu setiap malamnya.

Seseorang yang sehari sebelumnya mengatakan "pakai jaket kalau angin terlalu kencang, jalan kamu masih jauh", dan semua pesan-pesan bodoh lainnya tapi bisa membuat saya didiagnosis skizofrenia karena terlihat cengengesan sendiri.

Lalu esoknya dia menghilang. Menyisakan semua misteri lewat kicauannya di media sosial. Tak ada pesan, tak ada apapun kepada saya. Ah! Kini saya tahu, ada seseorang yang berhasil meluluhlantahkan hatinya, yang menurutnya, dia sudah seperti seorang nelayan pencari ikan, seorang sniper, seorang pemberi kode yang tak pernah diterima oleh receiver-nya.

Kini sempurna lah patah hati saya.

Saya patah hati. Saya benar-benar membenamkan semuanya. Berhenti mencari semua tentang cinta. Benar-benar mengutuk semua atas nama cinta.

Karena  alasan saya berani jatuh cinta adalah dia. 
Hanya karena dia.



Saat itu, empat tahun lebih yang lalu.

Malamnya, pukul 12 lewat. Entah sekecil apa hancuran keping yang rasa saya waktu itu, tapi masih berpura bahagia dan semangat demi mendengar suaranya, demi mendengar sedikit kisah lalunya; dari telfon. Katanya ini nekat. Dan beberapa kata setelahnya membuat saya lebih porak poranda lagi. Beberapa kata setelahnya membuat saya lupa menapak bumi, kemudian jatuh, bukan karena gravitasi.
.
.
.
Tapi karena cinta.

Karena katanya; we cant blame gravity for falling in love.



"Jadi siapa perempuan yang berhasil membuat kamu luluh lantah?"


"Perempuan itu kamu"


Sejak saat itu, saya terus jatuh cinta. Kepada orang yang sama.




Selamat hari nekat yang berujung manis, semoga selalu manis sampai di ujung!


Essential Happiness

By 12/24/2015


Gue dilahirkan dari orangtua yang tak pernah gue pilih, tapi mereka memilih gue untuk dicintainya bahkan tanpa pernah mengenal siapa dan bagaimana gue sebelumnya. Lalu sekarang, gue hanya inginkan mereka bahagia, berharap semua hal yang mereka berikan akan terbayar, walau gue tahu, itu tidak akan pernah bisa membayar lunas semuanya.

Entah gue pernah atau tidak membuat orangtua gue bahagia, walaupun gue berharap sekali dalam seumur hidup pernah membuat mereka bahagia.

Ketika gue tahu, apa artinya memberi bahagia untuk orang lain, gue hanya menawarkan angka, bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk jarak. Bakti gue hanya dalam bentuk doa pada sujud, tidak lebih. Gue tidak bisa seperti kebanyakan mereka, yang mampu memijat dikala mereka letih, membuatkan teh atau apapun ketika rumah dan pintu anak dan orangtua adalah sama.

Kini yang gue tahu, level bahagia tertinggi gue sebagai seorang anak adalah ketika orang tua gue merasakan bahwa kehadiran gue di antara mereka, mampu merubah keadaan porak poranda menjadi lebih menenangkan, berapapun kadar menenangkan itu, banyak atau sedikit, segunung atau sebanyak pasir di gengaman tangan bocah usia 5 tahun. Karena kadang raga lebih baik disisi, walaupun mulut bicara jarak hanya angka yang tertera, tak pernah menjadi masalah.

Bahkan gue tidak perlu membawa gunung ke depan mata, atau laut menjadi teras rumah, menghamparkan pasir putih di depannya, tapi sebuah perasaan tenang yang mengisyaratkan cukup adanya gue. Cukup gue; sebagai anak mereka, tidak yang lainnya.

Sungguh...

Gue berharap selalu bisa menjadi demikian, menjadi salah satu penawar dalam pedihnya racun kehidupan untuk mereka, mampu memberikan rasa manis, selalu membuat kalian cukup, tidak pernah kekurangan atau lebih, untuk mengantung senyum indah digurat wajah tua milik kalian.



Ah, betapa sayangnya anak kecilmu yang jauh disana kepada kalian.

Dan gue berharap, adanya gue diantara kalian, cukup untuk kalian, ragaku cukup untuk kalian, cukup untuk membuatmu bahagia; bagiku seperti sebuah bahagia berada di khayangan.

Perkara "Kapan Nikah?"

By 11/24/2015

"kapan nikah?"

"sudah punya calon?"

"kok gak dibawa pacarnya?"

"kapan nikah?"

"pacaran terus, ga nikah-nikah sih!"


Pertanyaan seperti itu pasti sering banget dilontarkan, diumpan-balikan *tsailah*, diajukan, dan semua istilah lainnya yang ditujukan untuk semua orang diusia 20-an, usia kedua yang sedang dalam fase lucu-lucunya setelah usia balita. Ya kan?

Gue pun sendiri rasanya gemes ditanya itu, rasanya selalu pengen gue jawab ketus, "kalau gue nikah, memangnya situ mau apa? mau joget-joget Y*S di nikahannya saya" atau jawaban sarkasme sarkasme lainnya yang kenyataannya, kata-kata demikian rupa tidak keluar dari mulut gue dan berakhir dengan jawaban sok bijak ala ibu peri "doain aja" diikuti mesem-mesem kecut. 

(((DOAIN AJA)))

*pun gue kurang yakin jikalau yang bertanya sungguh-sungguh mendoakan gue untuk cepat menikah*


Kenapa sih terus kalau usia seperti gue, usia yang lagi lucu-lucunya belum menikah?

Memangnya kalau gue menikah cepat, putaran bumi akan menjadi lebih cepat, atau kalau gue belum menikah maka bintang enggan berpijar. Kan gak! Atau dengan menikah, minimal biaya kesehatan lebih ringan karena ditanggung oleh perusahaan suami. Ya kan gak juga? Kalau gitu gue nikah aja sama Dirut BPKS yang katanya berobat kesehatan gratis. *ya! curhat lagi*



Gue sempat membaca sebuah tulisan dari seorang blogger yang dulu hingga kini masih tetap hitz di Twitter, disalah satu postingannya, dia menulis, mungkin menikah jangan dijadikan tujuan hidup, tapi nikah itu jadi fase hidup. And I couldn't agree anymore. Yup! Gue setuju. Nikah itu fase hidup, bukan tujuan hidup. Artinya begini, kalau menikah adalah tujuan gue, artinya gue harus nikah, di tahun yang sudah gue tetapkan, sedang kalau nikah gue jadikan fase hidup, artinya, gue tidak perlu ngoyo, sambil terus perbaiki diri dan berserah pada Tuhan YME, gue yakin, segala niat baik, semesta, langit, malaikat dan seisi antariksa ini akan berkonspirasi bersama.


Gue tentunya ingin pula mempunyai ritme hidup normal, tentunya ingin menyempurnakan ibadah yang Tuhan berikan petunjuk-Nya. Gue--dan (mungkin) semua teman yang dalam usia lucu tahap 2.0, bukan sengaja mengundur hal-hal baik, tentunya bukan. Tapi ketahuilah, gue--dan semua teman yang dalam usia lucu tahap 2.0, punya beberapa alasan untuk belum mengikuti jejak lainnya yang sudah pernah jalan menuju pelaminan.

Beberapa alasan yang orang lain mungkin tidak tahu betapa beratnya masalah yang dihadapi, seberapa gamangnya pilihannya yang disodorkan kepada kita, atau masalah lain yang harus dipikirkan baik dan seksama. Beberapa alasan yang membuat kita belum ada pada fase "menikah" dan beberapa lagi lainnya. Kadang Tuhan mencintai umatNya dengan cara lain, bukan? Dengan memberi masalah, menyodorkan pilihan sulit, sesulit memilih Cha time rasa milk tea atau green tea, atau menunda keinginan kita. Lalu dari proses-proses itu kita diajarkan banyak-banyak sabar, banyak berpasrah tapi selalu berusaha, kemudian menganti waktu yang lebih baik.

Gue sendiri bukan salah satu seseorang yang menunda menikah karena acapkali mendengar selentingan komentar mengenai pernikahan adalah sebuah hal yang rumit dan susah, melebihi rumitnya soal matematika, tidak bebas, dan lain sebagainya.

Gue pernah juga sepengin itu untuk menikah usia muda, mengikuti keinginan kedua orang tua gue dan mengabulkan harapannya, tapi Tuhan dalam skenario terkerennya yang pemeran utamanya adalah gue sendiri, belum mengizinkan. Gue pasrah dan percaya "His best timing". Seperti kutipan tulisan blogger tersebut, gue akhirnya menjadikan nikah adalah sebuah fase hidup. Fase dimana gue bukan lagi tentang hanya gue, tapi tentang gue dan pasangan gue. Fase dimana gue akan menjadi sangat ikhlas kalau beberapa tujuan hidup gue harus dicoret dari list, karena mengalah untuk keluarga kecil gue yang baru nantinya. Sebuah fase hidup, yang didalamnya, penuh kesabaran, pikiran matang dan proses pendewasaan, walau gaya dan tampang tetap usia 17-an :))


Jadi, nikah itu bukan sebuah perkara sekedar pertanyaan. Jangan anggap seseorang yang kemana-mana masih sendiri, atau yang di jari manisnya belum terlingkar cincin (kecuali mereka pecinta akik, mungkin sepuluh jarinya sudah terlingkar cincin) *dikepruk akik-ers*, atau yang belum menerbitkan buku sendiri (dibaca: buku nikah) atau gue yang pulangnya masih kerumah yang berbeda sama pacar gue, adalah hal yang aneh. Hal janggal, karena ritme hidupnya berbeda dengan kebanyakan yang lain. Jangan.

Bahwa gue--dan semua teman yang dalam usia lucu tahap 2.0, sedang menunggu Tuhan memberi waktu yang paling baik untuk beribadah kepada-Nya dalam bentuk sebuah pernikahan. What's meant to be will always finds a way! Entah jalannya lewat saluran udara, gorong-gorong, jalur Pantura atau yang lainnya, tapi gue yakin seyakinnya, kalau itu benar adanya.


source: www.allposters.com

Mungkin ada baiknya, ketika ditanya kapan menikah, jawabannya: di hari Tuhan sudah membulatkan tanggal pernikahan. X'))))

Goodmornight!