How Lucky I am
Sabtu pagi ini, tanggal 17 Agustus 2013. Disaat semua orang di RST Soedjono sibuk siap-siap upacara, karena gue anti mainstream, gue malah bersiap untuk.... operasi appendictomy (usus buntu). Anti mainstream memang...
Jadi, gue memang agak sering mengeluh nyeri perut, tapi gue abaikan saja. Terakhir gue rasain nyeri perut lagi dan langsung di USG karena gue pun lagi jadi #CoassRadiologiHore dan kata dokter gue... "Ini ada doughnut sign-nya No... kamu mah Appendisitis" Gue tercengang, tak percaya. Singkat kata, gue dioperasi keesok harinya sama Papaps Dadiya alias dokter bedah gue di RST dengan motivasi dari temen-temen gue yang entah niatnya baik atau buruk ditambah dukungan walaupun diselipkan candaan, "uda tulis surat wasiat belum No?" dari perawat OK. Ya tapi gitu lah, akhirnya gue menyerahkan perut gue akan di dedel sama mereka.
Jadi lah gue siap dioperasi, tepat hari kemerdekaan Indonesia.
Tepat gue lagi di infus, pacar gue datang, dengan muka kumalnya, pipi mulai menembemnya, rambut berantakannya dan mata belernya. Gue.... menjerit, bukan, bukan karena melihat keadaan dia yang lebih kearah menyedihkan dibanding kece, tapi karena gue lagi diinfus sama perawat bangsal. Tapi tetap, setelahnya gue memberikan senyum termanis gue. Yeah! Lucky me... Karena dia jauh-jauh dari Jakarta datang hanya karena temenin gue yang lagi sakit. Gue sedikit tenang tahu pacar gue ada deket gue. Entah kenapa, walau sekumel apapun tampang dia waktu itu. Tapi gue merasa, semua jadi lebih baik karena ada pacar gue.
DAN.... TIBA WAKTUNYA!
Operasi pun berjalan, gue selamat dan masih bisa nafas dan dengar teman-teman gue yang bangunin gue karena pengaruh obat tidur. Gue masih teler, kadang tidur walau berkali-kali dibangunin pacar. Sampai akhirnya gue sadar penuh dan efek anestesinya hilang.....
Sebelumnya gue bayangin setelah operasi ga akan sesakit ini, gue masih minta Twister KFC sama Pizza ke teman gue, tapi..... masuk sedikit makanan pun gak! Gue mulai meraung-raung kesakitan. Rasanya perut gue semacam ditarik-tarik. Gue meraung-raung terus ke pacar gue. Dia cuman bingung, pegangin tangan gue dan usep-usep kepala gue. Dia berkali-kali bilang, "sabar yaaa... ditahan dulu...". Ditambah mual yang luar biasa. Beberapa kali gue muntah dan ya... pacar gue yang bantuin gue muntah, lap wajah gue dan bersihkan bekas muntahan gue. Dan kejadian diatas bukan sejam dua jam, sehari semalam gue seperti itu terus. Dan pacar gue tetap sabar urusin gue. Tenangin gue dan bujuk gue supaya mau makan sedikit karena belum ada makanan yang masuk sedikit pun ke perut gue. Sesekali gue minta dia istirahat, tapi dia selalu mengeleng. Dia selalu ada disamping gue, kadang hanya sekedar membenarkan selimut dan posisi selang infus. Dia hanya menjauh kalau teman gue ada yang datang...
Just lucky me...
Besoknya, gue mulai membaik. Mama pun sudah di Magelang. Gue sudah mulai makan. Pacar gue... Dia masih mau repot-repot urus gue, bawa gue jalan-jalan keliling RS karena gue bosan, bolak-balik suapin gue makanan, bantuin gue untuk duduk dan baring, memastikan kalau posisi gue sudah nyaman.
Gue hanya bisa bilang terimakasih dan berulang kali minta maaf karena repotin. Tapi dia selalu bilang "ga kok, udah santai aja sih...".
That's my boy... Dia yang walau cuma bisa usep-usep kepala gue, pegangin tangan gue selagi gue meraung-raung kesakitan, tapi ya itu lah dia... Apa yang bisa dikerjakan lagi olehnya? Gue rasa itu lebih dari cukup, membuat gue tenang dan nyaman. Begitu sabarnya dia menghadapi rauangan kesakitan gue, atau keras kepalanya gue yang selalu mengeleng setiap disuruh makan, yang 24 jam available kalau gue minta seseatu atau butuh pertolongan.
Dia...
Gue sudah punya semua, sahabat, teman ngobrol, partner bolang, teman minum kopi, fashion and diet police, dokter pribadi, penasehat, alarm, teman bawel ingetin makan dan tidur dan pendoa yang paling baik...
Dan beruntungnya... Gue punya dia.
0 komentar