Seminggu Di Jakarta
Jakarta...
Kota yang terlalu biasa untuk didengar, hampir jarang ada istimewanya untuk sebagian orang. Tapi hari ini tepat seminggunya gue berada di kota ini dan besok pagi, Minggu pagi, tidak seperti biasanya, gue tidak perlu pagi pagi terbangun, merapikan semua barang bawaan gue dan bersiap ke stasiun tempat gue biasanya berangkat menuju kota harapan itu lagi. Bukan, kalaupun besok pagi gue terbangun terlalu pagi, mungkin gue akan menikmati kota Jakarta tanpa kendaraan dengan sepeda.
Kota yang selalu jadi tujuan gue pulang, kota yang selalu gue inginkan untuk terbang kemari kalau bayangan orang tua dan pacar sedang merajalela dipikiran gue. Kota yang... membuat gue sabar, karena gue yakin walaupun hanya terhitung dengan satu tangan, ada yang menunggu gue pulang.
Harusnya gue bergembira bukan? Gue tidak lagi ditunggu pulang atau tidak ada lagi keinginan untuk punya pintu ajaib atau kemampuan teleport supaya gue sekejap bisa di Jakarta.
Tapi, tujuh hari di kota ini...
Gue mendapati kenyataan, kalau Jakarta (masih) kejam.
Jakarta tidak semenyenangkan seperti dua tahun belakangan terakhir. Ketika, gue masih punya tempat untuk sekedar duduk dan minum kopi menceritakan bagaimana hari gue, pun pahit atau manis. Ketika, gue masih punya teman menikmati mie ayam Ojie atau punya teman yang rutin mengajak gue makan mie ayam yamin seperti dahulu. Ketika, semua bagian di kota Jakarta bisa berubah menjadi taman bermain atau tempat apapun sesuka imajinasi gue.
Tidak... Jakarta kembali menunjukan siapa "dia" sebenarnya! Jakarta menjadi terlalu keji untuk orang yang berharap lebih bahwa kota PASTI akan menjadi kota menyenangkan seperti sebelumnya.
Di kota ini ada orang yang merasa kopi terlalu pahit untuk dinikmati berdua atau terlalu manis untuk dinikmati sendiri. Kota ini pula yang menarifkan harga mahal untuk menjadi tempat bertemu hanya untuk menceritakan apa yang terjadi, bukan hanya perkara uang tetapi perkara kesempatan dan waktu. Jakarta juga bukan lagi taman bermain yang seru, walaupun cuma di imajinasi, karena kota ini akan menampar dengan kenyataan.
Di Jakarta pula, ada orang-orang yang selalu merasa kesepian bahkan di kota dengan penduduknya padat.
Selalu ada....
Anggap saja, orang itu gue.
0 komentar