Hari Ayah Nasional
Walaupun gue bukan salah satu yang ikut bersemarak dan melakukan perayaan kecil ketika hari ayah, karena menurut gue setiap hari adalah hari ayah & ibu nasional. Tidak perlu perayaan khusus atau hadiah khusus, cukup doa ketika kening menyentuh lantai sujudmu.
Gue kira itu lebih dari cukup.
Tapi, di hari ayah ini (walaupun sudah terlambat) gue mau mendeskripsikan singkat, apa makna ayah buat gue.
Buat gue, ayah itu adalah seseorang yang menurunkan dan mengajarkan gue untuk pergi ke tempat baru. Ingat jelas di memori kepala gue, seseatu yang tak pernah lupa dan akan jadi kenangan yang terus mengelayut.
Waktu itu gue berumur sekitar enam atau tujuh tahun, Papa (panggilan ayah buat gue) mengajak gue pergi ke kantornya, karena masih kecil gue tidak bertanya lebih lanjut tujuannya apa. Gue hanya kesenangan dan girang karena akan pergi dan segera berganti baju. Hari itu tepat hari minggu, papa libur kerja dan hari itu kita semua sedang menjalankan puasa Ramadhan, dan gue anak kecil yang sotoy ini ikut-ikut berpuasa.
Kantor Papa ada di Cilangkap, sedang rumah gue ada di Kelapa Gading. Jangan berpikir kalau gue akan naik kendaraan pribadi, no! gue naik kendaraan umum. Kebayang gak jauhnya? Gue ingat betul, Papa mengunakan kemeja lengan panjang yang lengannya digulung sesiku, warna krem kehijauan dengan celana hitam dan sandal kulit mulai lusuh. Perjalanan dari rumah dimulai dengan naik bis, gue duduk samping Papa, gue duduk dekat jendela, kata Papa supaya gue bisa melihat-lihat sekitar. Tidak lama, papa langsung ketiduran dan gue tetap asik melihat apa yang ada di luar jendela. Rambut tipis kepirangan gue dibiarkan tergerai, angin yang berhembus melalui jendela bis membuatnya berterbangan.
Bis itu terus melaju, hingga keluar jalan tol dan gue melihat Papa yang kucek-kucek mata karena baru terbangun. Papa kaget, karena sudah sampai dan segera bergegas turun dari bis. Papa mengajak gue menyebrang, dan menunggu angkot lain yang akan mengantar ke kantor papa.
"Pa, kita naik angkot warna apa?"
"Merah" jawab Papa.
"Aku bantuin lihat ya!"
"Pa, itu merah, Pa..." seru gue berisik.
"Bukan merah yang itu, lihat yang ada angka 05"
"Hmm oke"
Selagi menunggu angkot yang dimaksud, papa berkali-kali menawarkan gue minum, tapi gue selalu menolak dan dengan sombong gue jawab "aku puasa Pa, aku juga ga haus. Papa aja deh yang minum".
Berselang-seling angkot warna merah lewat, tapi sepertinya angkot warna merah yang jenisnya banyak itu bukan angkot yang dimaksud. Mungkin terlalu lama menunggu, akhirnya Papa memberhentikan angkot secara asal, dan bercakap sebentar dengan pak supir yang intinya untuk ketujuan itu harus sambung angkot 2x dan bisa naik angkot ini. Papa pun menyetujuinya dan mengajak gue naik. Di dalam angkot kecil itu, hawa mengantuk mulai datang menghampiri gue. Tidak lama akhirnya gue tertidur di samping Papa. Papa masih sibuk melihat jalan yang entah ada dimana.
"Yah kita kelewatan" ucap Papa yang suaranya membangunkan gue. "Kiri bang!" sambung Papa berikutnya.
"Papa tadi ketiduran juga" lanjutnya setelah membayar uang angkot itu.
Papa itu pekerja keras, gurat wajahnya menunjukan letih luar biasa, tapi tidak pernah sekalipun kata letih itu keluar dari mulutnya, sampai gue sebesar sekarang. Gue yang waktu itu masih kecil, hanya mengangguk seperti memahami kenapa Papa ketiduran di angkot.
"Ayu (panggilan gue dirumah) kalau kita naik angkot, nanti tunggunya lama kaya tadi, tapi kalau naik angkot sekali yang sering lewat itu, terus jalan, lebih cepet sampai. gimana? nanti kita lewat kebun dan sungai kecil, kamu kan suka lewat sungai."
Gue hanya mengangguk dan tidak lama, Papa segera memberhentikan angkot yang dimaksud. Didalam angkot, Papa merangkul gue, memposisikan kepalan gue untuk bersandar di dadanya, mungkin takut kalau anak bungsunya capek. Tapi gue sendiri tak merasakan capek sedikit pun. Malah gue tidak sabar untuk segera sampai dan melihat sungai kecil yang dimaksud Papa.
Benar kata Papa, jalan yang harus kita lalui lewat kebun dan sungai kecil. Sungai itu alirannya deras. Gue selalu suka melihat aliran sungai, aliran sungai teratur, selalu mengarah ke suatu tujuan, bergemericik ramai, kadang suaranya teduh. Gue selalu suka melihat semua adegan itu.
Papa membolehkan gue untuk memasukan tangan gue ke sungai, kata Papa biar gue merasakan aliran sungainya. Gue kegirangan. Tangan gue masuk kedalam sungai kecil itu. Tangan kecil gue merasakan air yang menabrak telapak tangan. Sebentar saja, lalu Papa melanjutkan perjalanan.
"Ayu, nanti kalau kamu besar, kamu harus banyak keliling, jalan-jalan ke tempat baru, kayak sekarang. Kamu capek?"
Gue mengeleng.
Papa melanjutkan bicaranya.
"Kalau kamu sering ketempat baru, kamu jadi tahu banyak hal, apa saja, dimana saja. Kamu akan selangkah lebih tahu kalau kamu sering mencoba ke tempat baru. Sekarang kamu tahu kan, kalau disini ada sungai yang alirannya deras, kamu bisa bilang ke kakak kamu dan pasti mereka tidak tahu. Artinya, kamu selangkah lebih tahu, hebat kan?"
Gue hanya diam. Gue saat tidak sedikit pun gue merasakan capek karena perjalanan cukup jauh untuk anak seumur gue dan panas ditambah gue ikut berpuasa. Dan gue selalu ingat kata-kata Papa saat itu, "pergi lah ke tempat baru dan jelajahilah!"
Dari hari itu, Papa lah yang terus mengajak gue dengan semangat menjelajah tempat baru. Mulai dari menyisiri sungai belakang rumah kakek di Magetan yang tembus
kuburan cina, masuk hutan konservasi di Gunung Salak, kesasar dan
dimarahi petugas disana, naik sampai puncak kebun teh di Puncak Pass,
berenang ke tengah laut di Kuta menikmati matahari terbenam, beberapa
kali ke Puncak dan selalu diajak untuk mencari jalan yang tidak biasa
dilewati, kadang sesekali berhenti untuk menawar pisang yang dijajakan
oleh penduduk lokal, Bromo, Malang, Madura, Lampung, Solo, Jogja dan
masih banyaaaaaaaak lagi!
Papa yang lebih dulu membawa sepatu olahraga gue, bahkan tanpa gue minta
jika akan pergi, seperti sudah menjadi standar prosedur. Bukan hanya jalan-jalan ke tempat wisatanya, Papa selalu mengajak gue ke tempat yang tidak banyak orang kunjungi, ke pasar tradisional, ke warung kopi sederhana, ke tempat kita bisa berinteraksi dengan banyak warga lokal, ke tempat yang tidak tau akan berakhir dimana, ke tempat yang bisa kasih lihat ke gue kalau dunia ini luas dan belajar lah dari apapun yang gue lihat, karena itu semua tidak akan dijelaskan oleh guru manapun.
Dan sampai saat ini.
Ketika umur gue sudah menginjak seperempat abad, Papa masih semangat untuk jalan-jalan. Bedanya, sekarang Papa lebih sering jalan-jalan dengan partner hidupnya, Mama *untungnya gue juga sudah punya partner mbolang sendiri* X'))))) dan jangan tanya Papa & Mama sudah kemana saja, gue sebagai anaknya merasa tersaing, kzl!
Sekarang pun Papa tidak heran kalau ke tempat baru, gue selalu hilang, karena gue yang lebih dulu menjelajah. Papa juga tidak heran kalau gue bisa bercerita tentang tempat ini, tempat itu, selama gue merantau.
"Naik kendaraan umum atau gunakalah kaki mu sendiri, berjalan lah sejauh mungkin, jadi kamu tahu apa yang orang tidak tahu karena mereka naik kendaraan pribadi"
Papa yang mewarisi darah "mbolang"-nya ke gue, yang banyak mengajarkan kalau dunia terlalu sempit hanya sekitar rumah dan komplek. Kalau kaki akan lemah jika hanya jalan ketempat yang itu itu saja, kalau mata terlalu gelap melihat apa yang dibatasi tembok. Jadi, jangan heran kalau gue selalu merasa haus untuk berdiam diri, Papa yang mewarisi itu semua.
Setiap orangtua pasti punya cara pengajaran yang berbeda ke anak-anaknya. Pun ayah gue. Tidak ada benar atau salah, karena mereka hanya mengajari untuk seseorang yang dicintainya dengan caranya.
Selamat Hari Ayah Nasional,
untuk Papa dan semua Ayah di seluruh dunia.
dari,
anakmu yang ketika menulis ini meneteskan air mata, rindu dan bangga.
*Sayangnya, gue gak punya foto kalau jalan-jalan sama Papa*
*Papa gak dipajang-dan-dipamerin-able kalau foto! X'))))*
*Sayangnya, gue gak punya foto kalau jalan-jalan sama Papa*
*Papa gak dipajang-dan-dipamerin-able kalau foto! X'))))*
0 komentar